Jambi – Jambiaktual.co.id 24 Mei 2025 Siapa sangka, di balik sunyi nya gang-gang kos di Telanaipura, tersembunyi sebuah “startup” gelap yang tak kalah gesit dari unicorn digital: sindikat pinjaman online (pinjol) ilegal. Beroperasi sejak awal 2023, kelompok ini tampaknya tak hanya pandai menghisap darah korban lewat bunga mencekik, tapi juga lihai mengelabui hukum — dengan satu jurus pamungkas: suap bulanan ke oknum aparat.
Awalnya, mereka membuka “kantor pusat” di kawasan Mayang, lengkap dengan meja, kursi, dan mungkin segelas kopi panas. Tapi begitu warga mulai sadar bahwa yang ditelepon setiap malam adalah korban, bukan keluarga, sindikat ini hengkang — pindah ke depan Saung Talang di Talang Banjar. Setelah kehebohan kembali muncul, mereka angkat kaki lagi, kali ini ke Pakuan Baru, membuka cabang-cabang gelap dengan gaya gerilya: satu kantor tutup, dua lainnya buka.
Kini, mereka tak repot lagi sewa ruko. Era digital memudahkan segalanya — cukup sewa kos dan buka Telegram. Dari sanalah sindikat ini menjalankan “layanan finansial” berbunga maut, langsung dari jantung Kecamatan Telanaipura, tepatnya daerah Karya. Dengan Telegram sebagai ruang rapat utama dan kasur sebagai meja kerja, para operator bekerja lembur demi mengejar “target harian”.
“Kerjanya dari kos, komunikasi semua di Telegram. Sudah nggak ada kantor fisik lagi,” ungkap seorang mantan operator yang memilih diam-diam demi keselamatan jiwa.
Yang bikin lebih menarik: kabarnya, agar tetap bisa bernapas bebas tanpa masker hukum, sindikat ini menyisihkan anggaran khusus — sebesar Rp20 juta per bulan — untuk “biaya keamanan informal”. Uang ini diduga mengalir rutin ke oknum aparat, membuat hukum menjadi sekadar dekorasi konstitusi.
“Diduga kuat ada bekingan dari aparat siber. Mereka seolah-olah buta dan tuli kalau soal ini,” tambah sumber tersebut dengan nada getir.
Meski markasnya di Jambi, target mereka justru warga dari luar kota. Aplikasi mereka tak ada di Play Store atau App Store, tentu saja — sebab kalau mudah ditemukan, nanti bisa ketahuan ilegal. Jadi, aplikasi disebar lewat tautan langsung. Siapa cepat, dia terjerat.
Metode penagihan mereka? Teror psikologis kelas berat. Dari menyebar foto pribadi korban (yang sudah diedit seolah dari dunia kelam), hingga meneror semua kontak yang ada di ponsel peminjam. Bagi sindikat ini, etika adalah beban; yang penting uang masuk.
Tak cukup sampai di situ, mereka juga gemar bermain petak umpet: ganti-ganti nama kantor dan aplikasi tiap bulan, seolah-olah sedang mengikuti lomba branding kreatif. “Itu-itu juga orangnya. Cuma ganti baju, ganti nama, biar nggak kena tangkap,” jelas sumber.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, respons aparat masih seperti biasa: diam, lamban, atau pura-pura sibuk. Laporan warga dan mantan pekerja sudah banyak, tapi tindakan tegas belum juga terlihat. Mungkin karena hukum tak hanya bisa dibeli, tapi juga bisa dicicil.
Di tengah maraknya digitalisasi, sindikat ini justru menunjukkan bahwa inovasi tak selalu membangun. Kadang, ia menjadi alat baru bagi kejahatan lama: memiskinkan, memeras, dan menertawakan hukum dari balik layar ponsel.