KONFLIK PLTA KERINCI: JANJI KOMPENSASI TAK KUNJUNG DITEPATI, MASYARAKAT PULAU PANDAN & KARAN PANDAN TUNTUT KEADILAN

KERINCI – jambiaktual.co.id Konflik antara masyarakat Desa Pulau Pandan dan Karan Pandan dengan pihak PLTA Kerinci kian memanas. Hingga hari ini, belum ada kesepakatan yang jelas terkait janji kompensasi yang disampaikan pihak Humas PLTA, Asroli, kepada warga terdampak. Alhasil, masyarakat masih menduduki dan menjaga area sungai yang menjadi sumber konflik, menuntut kepastian hak mereka.

Janji awal yang disampaikan kepada warga memberikan kompensasi secara transparan, adil, dan seimbang hingga kini belum terealisasi. Warga menegaskan, proyek strategis nasional ini boleh berjalan, tetapi tidak boleh ada pihak yang dirugikan, baik masyarakat Pulau Pandan dan Karan Pandan secara khusus, maupun masyarakat Kerinci dan Sungai Penuh secara umum.

LSM PEDAS melalui Ketua Umumnya, Efyarman, menilai bahwa PLTA memang membawa manfaat besar bagi daerah, namun harus ada jaminan tertulis dari pihak perusahaan kepada Pemda dan Pemkot terkait:

Dampak negatif lingkungan,

Transparansi pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR),

Keterbukaan pajak air permukaan harga per kubik dan jumlah penggunaannya per hari,

Sosialisasi terbuka kepada masyarakat.

“Kalau semua terang benderang, masyarakat akan mendukung penuh. Tapi kalau ada kepentingan pribadi, kelompok, atau organisasi yang bermain, ini akan jadi bom waktu konflik sosial,” tegas Efyarman.

Selain kerugian lingkungan akibat alih fungsi sungai dan ancaman habitat perairan, warga yang menggantungkan hidup dari nelayan dan pertanian bantaran sungai kehilangan mata pencaharian. Dampak ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mewajibkan pelaku usaha menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan fungsi lingkungan hidup (Pasal 87).

Lebih lanjut, Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum mewajibkan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang terdampak, meliputi tanah, bangunan, tanaman, maupun sumber penghidupan. Ketentuan ini diperkuat oleh Pasal 66 UU 6/2014 tentang Desa, yang menjamin perlindungan hak asal-usul desa dan wilayah adatnya.

Masyarakat menegaskan, Pemda dan Pemkot wajib turun langsung ke lokasi, bukan hanya menerima laporan sepihak. Pemerintah desa pun diminta melakukan musyawarah terbuka, mengundang tokoh masyarakat, tokoh adat, karang taruna, dan seluruh unsur yang berkepentingan, agar keputusan diambil secara transparan dan mengikat semua pihak.

Kini, bola panas ada di tangan pihak PLTA dan Pemerintah Daerah. Janji harus ditepati, hak rakyat harus dipenuhi, dan semua proses harus dibuka seterang-terangnya. Sebab, dalam konflik ini, diam berarti mengkhianati amanat konstitusi. (Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *