Jambi, jambiaktual.co.id Mediasi antara Winda Irzalina dan anggota DPRD Provinsi Jambi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rendra Ramadhan Usman, yang berlangsung di Mapolda Jambi pada Senin (14/7), kembali menemui jalan buntu. Polemik terkait hak asuh anak belum juga menemukan titik terang.
Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh pihak kepolisian tersebut, Rendra melalui kuasa hukumnya bersikeras menawarkan skema hak asuh anak dibagi 15 hari bersama ayah dan 15 hari bersama ibu, dengan pembiayaan pun dibagi bergilir: 15 hari oleh Rendra dan sisanya oleh Winda.
Namun, Winda Irzalina dengan tegas menolak pola tersebut. Ia menilai sistem tersebut tidak hanya menyulitkan anak secara psikologis, tetapi juga tidak sejalan dengan norma hukum dan keadilan yang berlaku, khususnya bagi anak yang masih kecil dan membutuhkan sosok ibu secara utuh.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
“Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah.”
Dalam konteks ini, anak yang dimaksud masih berada dalam usia di bawah 12 tahun, sehingga secara hukum, hak asuh mutlak berada pada ibunya, Winda Irzalina. Sementara pembiayaan sepenuhnya seharusnya menjadi tanggung jawab ayah biologis, dalam hal ini Rendra Ramadhan Usman.
Winda juga menegaskan bahwa perjuangannya bukan semata demi dirinya, melainkan demi kenyamanan, stabilitas emosional, dan pertumbuhan anak yang sehat secara psikologis. “Saya hanya ingin anak saya hidup tenang, tidak dibolak-balik setiap 15 hari seperti barang titipan. Apalagi dia masih kecil dan sangat butuh pelukan ibunya,” ungkap Winda usai mediasi.
Keteguhan Winda didukung sejumlah aktivis perlindungan perempuan dan anak di Jambi yang menyayangkan sikap Rendra sebagai pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh dalam menegakkan hukum, bukan mencari celah untuk menghindari tanggung jawab sebagai ayah.
Publik kini menantikan keberpihakan hukum dalam perkara ini. Apakah keadilan akan berpihak kepada hak-hak dasar anak dan ibunya, atau justru dikebiri oleh ego kekuasaan dan manipulasi aturan?